SUDAHKAH ANDA SHALAT?

Kamis, 03 Juni 2010

Adab dan Etika Hubungan suami-isteri

Dalam hadis yang bersumber dari Abu Said Al-Khudri, Rasulullah saw pernah berwasiat kepada menantunya Ali bin Abi Thalib (ra):
“Wahai Ali, jika isterimu memasuki rumahmu, hendaknya melepaskan sandalnya ketika ia duduk, membasuh kedua kakinya, menyiramkan air dimulai dari pintu rumahmu sampai ke sekeliling rumahmu. Karena, dengan hal ini Allah mengeluarkan dari rumahmu 70.000 macam kefakiran dan memasukkan ke dalamnya 70.000 macam kekayaan, 70.000 macam keberkahan, menurunkan kepadamu 70.000 macam rahmat yang meliputi isterimu, sehingga rumahmu diliputi oleh keberkahan dan isterimu diselamatkan dari berbagai macam penyakit selama ia berada di rumahmu.
Cegahlah isterimu (selama seminggu dari awal perkawinan) minum susu dan cuka, makan Kuzbarah (sejenis rempah-rempah, ketumbar) dan apel yang asam. Ali bertanya: Ya Rasulallah, mengapa ia dilarang dari empat hal tersebut? Rasulullah saw menjawab: Empat hal tersebut dapat menyebabkan isterimu mandul dan tidak membuahkan keturunan. Sementara tikar di rumahmu lebih baik dari perempuan yang mandul. Kemudian Ali (ra) bertanya: Ya Rasulallah, mengapa ia tidak boleh minum cuka? Rasulullah saw menjawab: Cuka dapat menyebabkan tidak sempurna kesucian dari haidnya; Kuzbarah menyebabkan darah haid berakibat negatif terhadap kandungannya dan mempersulit kelahiran; sedangkan apel yang asam dapat menyebabkan darah haid terputus sehingga menimbulkan penyakit baginya. Kemudian Rasulullah saw bersabda:
Pertama: Wahai Ali, janganlah kamu menggauli isterimu pada awal bulan, tengah bulan, dan akhir bulan, karena hal itu mempercepat datangnya penyakit gila, kusta, dan kerusakan syaraf padanya dan keturunannya.
Kedua: Wahai Ali, janganlah kamu menggauli isterimu sesudah Zhuhur, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan jiwa anak mudah goncang, dan setan sangat menyukai manusia yang jiwanya goncang.
Ketiga: Wahai Ali, janganlah kamu menggauli isterimu sambil berbicara, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan kebisuan. Dan janganlah seorang suami melihat kemaluan isterinya, hendaknya memejamkan mata ketika berhubungan, karena melihat kemaluan dapat menyebabkan kebutaan pada anak.
Keempat: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu dengan dorongan syahwat pada wanita lain (membayangkan perempuan lain), karena (bila dikaruniai anak) dikhawatirkan memiliki sikap seperti wanita itu dan memiliki gangguan kejiwaan.
Kelima: Wahai Ali, barangsiapa yang bercumbu dengan isterinya di tempat tidur janganlah sambil membaca Al-Qur’an, karena aku khawatir turun api dari langit lalu membakar keduanya.
Keenam: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu dalam keadaan telanjang bulat, juga isterimu, karena khawatir tidak tercipta keseimbangan syahwat, yang akhirnya menimbulkan percekcokan di antara kalian berdua, kemudian menyebabkan perceraian.
Ketujuh: Wahai Ali, janganlah menggauli isterimu dalam keadaan berdiri, karena hal itu merupakan bagian dari prilaku anak keledai, dan (bila dianugrahi anak) ia suka ngencing di tempat tidur seperti anak keledai ngencing di sembarangan tempat.
Kedelapan: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada malam ‘Idul Fitri, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan anak memiliki banyak keburukan.
Kesembilan: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada malam ‘Idul Adhha, karena (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan jari-jarinya tidak sempurna, enam atau empat jari-jari.
Kesepuluh: wahai Ali, jangan menggauli isterimu di bawah pohon yang berbuah, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang penyambuk atau pembunuh atau tukang sihir.
Kesebelas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu di bawah langsung sinar matahari kecuali tertutup oleh tirai, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan kesengsaraan dan kefakiran sampai ia meninggal.
Kedua belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu di antara adzan dan iqamah, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia suka melakukan pertumpahan darah.
Ketiga belas: Wahai Ali, jika isterimu hamil, janganlah menggaulinya kecuali kamu dalam keadaan berwudhu’, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia buta hatinya dan bakhil tangannya.
Keempat belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada malam Nisfu Sya’ban, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan tidak bagus biologisnya, bertompel pada kulit dan wajahnya.
Kelima belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada akhir bulan bila sisa darinya dua hari (hari mahaq), karena hal itu (bila anugrahi anak) dapat menyebabkan ia suka bekerjasama dan menolong orang yang zalim, dan menjadi perusak persatuan kaum muslimin.
Keenam belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu di atas dak bangunan ( yang tidak beratap), karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang munafik, riya’, dan ahli bi’ah.
Ketujuh belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu ketika hendak melakukan perjalanan (bermusafir), jangan menggaulinya pada malam itu, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia suka membelanjakan harta di jalan yang tidak benar (pemboros). Kemudian Rasulullah saw membacakan firman Allah swt:
إِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْا إِخْوَانَ الشَّيَاطِيْنَ.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (Al-Isra’: 27).
Kedelapan belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu jika kamu hendak bermusafir 3 hari 3 malam, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi penolong orang yang zalim.
Kesembilan belas: Wahai Ali, gauilah isterimu pada malam senin, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia menjadi pemelihara Al-Qur’an, ridha terhadap pemberian Allah swt.
Kedua puluh: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada malam Selasa, hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia dianugrahi syahadah setelah bersaksi “Sesungguhnya tiada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, tidak disiksa oleh Allah bersama orang-orang yang musyrik, bau mulutnya harum, hatinya penyayang, tangannya dermawan, dan lisannya suci dari ghibah dan dusta.
Kedua puluh satu: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada malam Kamis, hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi ahli hukum dan orang yang ‘alim.
Kedua puluh dua: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada hari Kamis setelah matahari tergelincir, hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia tidak didekati setan sampai berubah rambutnya, menjadi orang yang mudah paham, dan dianugrahi oleh Allah Azza wa Jalla keselamatan dalam agama dan di dunia.
Kedua puluh tiga: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada malam Jum’at, hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang orator. Jika kamu menggauli isterimu pada hari Jum’at setelah Ashar, (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang terkenal, termasyhur dan ‘alim. Jika kamu menggauli isterimu pada malam Jum’at sesudah ‘Isya’, maka diharapkan kamu memiliki anak yang menjadi penerus, insya Allah.
Kedua puluh empat: Wahai Ali, jangan gauli isterimu pada awal waktu malam, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang tidak beriman, menjadi tukang sihir yang akibatnya buruk di dunia hingga di akhirat.
Kedua puluh lima: Wahai Ali, pegang teguhlah wasiatku ini sebagaimana aku memeliharanya dari Jibril (as). (Kitab Makarimul Akhlaq: 210-212)

Wallahu 'alam

[+/-] Selengkapnya...

MERAPATKAN SHOF DALAM SHALAT

Apa dalil wajibnya meluruskan shof ?

Jawaban :

Meluruskan shof adalah wajib hukumnya, dalilnya adalah hadist Nu’man bin Basyir r.a , bahwasanya Rosulullah saw bersabda
"Luruskan (samakanlah) shaf-shaf kalian (beliau mengulangi 3 kali), maka demi Allah hendaklah kalian meluruskan shaf
kalian atau sungguh Allah akan menyelisihkan diantara hati-hati kalian." (Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud).

Di dalam riwayat lain disebutkan
"Hendaklah Kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan menyelisihkan di antara wajah-wajah kalian." (HR. Bukhari).

Perintah dalam dua hadist di atas mempunyai arti wajib, karena dibelakangnya terdapat ancaman bagi yang tidak
melaksanakan perintah tersebut.
Ketika imam mengucapkan, ‘Sawu sufufakum’‘saya dengar orang disebelah saya mengucapkan,
‘Sami’na wa atho’na,’‘ apakah ini sunnah?
Jawaban :
Ketika imam mengucapkan, ‘Sawu sufufakum’‘Tidak ada keharusan seseorang mengucapkan
‘Sami’na wa atho’na,’‘ kalau ini diucapkan oleh salah seorang jama'ah dan menyakini
bahwa hal ini adalah sunnah, maka dia telah berbuat bid'ah, karena tidak ada dalil yang mengharuskan untuk
mengucapkan seperti itu. Tetapi yang penting adalah seorang makmum segera mentaati perintah imam tersebut untuk
merapatkan dan meluruskan shof.

Saya pernah dengar kalau merapatkan shaf adalah kesempurnaan shalat, terus apa yang akan kita lakukan jika orang
yang berada di samping kita "enggan" merapat? Dia selalu bergeser waktu saya merapatkan kaki saya dengan kakinya.

Jawaban :

Jika seseorang dalam sholat jama’ah, hendaknya meluruskan barisan sholat menurut kemampuannya dan
mengajak orang yang ada disampingnya untuk meluruskan barisan juga. Jika orang tersebut enggan merapatkan
barisan dan selalu bergeser ketika didekati, maka tidak ada kewajiban baginya untuk memaksanya karena dia dalam
keadaan sholat. Ketika sholat selesai, hendaknya dia menasehati orang tersebut dan memberitahu akan pentingnya
meluruskan dan merapatkan barisan dalam sholat, karena barangkali kengganan orang tersebut berangkat dari
ketidaktahuan akan pentingnya merapatkan dan meluruskan barisan.

Sahkah orang yang shafnya sendirian saat shalat berjamaah?
Jawaban :
Orang yang sholat jama’ah dan berdiri di shof belakang sendirian, maka tidak lepas dari dua keadaan :
Pertama : Shof di depannya masih kosong, dan dia sengaja berdiri di belakang sendirian tanpa ada udzur, maka
sholatnya sah, tetapi perbuatannya ini makruh.
Kedua : Shof di depannya penuh sesak, dan tidak mungkin dia masuk ke dalam shof tersebut, maka orang seperti ini
sholatnya sah dan tidak makruh.
Adapun dalil tentang sahnya orang yang berdiri sendirian di shof belakang adalah hadist Abu Bakrah ra :
‘ Bahwasanya dia sampai di masjid, sedang Rasulullah saw sedang ruku’, maka dia ikut ruku’
padahal dia belum sampai kepada shof. Setelah selesai sholat, hal itu dilaporkan kepada Rasulullah saw, kemudian
beliau bersabda : ‘ Mudah-mudahan Allah menambah semangatmu untuk sholat jama’ah, tetapi jangan
mengulangi sholat di shof sendirian ‘ ( HR Bukhari )
Hadist di atas menunjukkan sahnya orang yang berdiri di shof sendirian dengan dalil bahwa Rasulullah saw tidak
menyuruhnya untuk mengulangi sholat.
Adapun hadist yang berbunyi :
"Menghadaplah kiblat ketika kamu shalat, maka tidak ada shalat bagi seorang yang sendirian di belakang shaf." (Hadist Shohih Riwayat Ibnu Khuzaimah).
Maksud dari kalimat : ‘ tidak ada sholat ‘ dari hadist di atas adalah tidak sempurna sholat yang sendirian di belakang shof, artinya hukum makruh jika tidak ada udzur.
Begitu juga hadist yang berbunyi :
"Sesungguhnya Rasulullah saw melihat seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf, maka Rasul menyuruhnya untuk mengulangi shalatnya." (Hadist Shohih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban ).
Maksud perintah untuk mengulangi sholat pada hadist di atas adalah dianjurkan untuk mengulangi sholat dan tidak wajib, ini jika dia berdiri sendirian di belakang shof tanpa ada udzur. Jika ada udzur, maka tidak dianjurkan untuk mengulanginya.

Bagaimana solusinya jika kita masuk masjid sedang shof sudah penuh ?

Jawaban :

Jika anda masuk masjid sedang shof sudah penuh, maka berusahalah untuk mencari shof yang agak renggang untuk
kemudian berusaha masuk dalam shof, walaupun dengan menggeser sebagian jama’ah yang sedang sholat. Jika
tidak bisa karena benar-benar padat, maka berusahalah untuk menembus shof untuk bisa berdiri dan sholat di samping
imam. Jika benar-benar tidak bisa juga karena jama’ah sangat banyak, maka silahkan untuk berdiri sendiri di shof
paling belakang, dan insya Allah sholat anda sah, dalilnya adalah firman Allah swt :
‘ Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ‘ ( Qs At Taghabun : 16 )

Apa hukumnya seseorang yang menarik salah satu jama’ah yang ada di shof depan agar mundur dan berdiri di
shof belakang bersamanya ?
Jawaban :
Ada sebagian ulama yang membolehkan perbuatan tersebut, tetapi kalau kita teliti ternyata hadist yang menerangkan
hal itu adalah hadist lemah. Hadist tersebut berbunyi :
Dari Ibnu 'Abbas berkata, "Rasulullah bersabda, "Apabila seseorang di antara kamu tidak mendapatkan shaf karena
sudah sempurna (penuh), maka hendaklah ia menarik kepadanya seorang laki-laki supaya berdiri di sampingnya."
(Hadist Lemah Riwayat Thabrani).
Begitu juga hadist yang berbunyi :
Dari Wabidhah bin Ma'bad ra, "Bahwasanya ada seorang laki-laki shalat
sendirian di belakang shaf, maka Nabi saw berkata kepadanya, "Apakah kamu sudah masuk ke dalam shaf atau engkau
telah menarik seorang laki-laki untuk shalat bersamamu? Maka ulangilah shalat." (HR. Abu Ya'la dan di dalam sanadnya ada kelemahan )
Selain dua hadist di atas derajatnya lemah, perbuatan menarik salah satu jama’ah untuk berdiri di shof belakang
bisa mengganggu konsentrasi orang yang sedang sholat. Bahkan hal ini bisa membawa fitnah jika yang ditarik tidak
paham dan merasa diganggu sholatnya, bahkan tidak sedikit dari mereka yang membatalkan sholatnya karena
berkeyakinan bahwa pindah tempat dan berjalan kebelakang termasuk sesuatu yang membatalkan sholat.
Dengan demikian, jika berdiri sendiri di shof belakang, dianjurkan untuk tidak menarik salah satu jama’ah
kebelakang, tapi cukup dia berdiri sendiri jika memang tidak ada tempat lagi, dengan harapan ada jama’ah lain
yang menyusul dan bergabung dengannya. Jika ternyata sampai akhir sholat tidak ada jama’ah lain yang
bergabung, maka insya Allah sholatnya tetap sah, sebagaimana yang telah diterangkan di atas.
Apakah diperbolehkan shalat dengan shaf sejajar antara laki-laki dan perempuan meskipun dibatasi dengan hijab? Perlu
diketahui di daerah kami banyak masjid yang membagi dua bagian masjid (untuk putra dan putri) kanan dan kiri.
Jawaban :
Sebaiknya shof lelaki di depan, dan shof perempuan di belakang, sebagaimana riwayat dari Ibnu Mas’ud
bahwasanya ia berkata :
‘ Akhirkan mereka ( di dalam shof ) sebagaimana Allah swt mengakhirkan mereka ( Riwayat Ibnu Huzaimah,
Thobari dan Abdur Rozak )
Tapi, jika shof laki-laki sejajar dengan perempuan dengan menggunakan pemisah, maka hal itu makruh,tetapi sholatnya tetap syah.


Wallahu ta’ala a’lam

[+/-] Selengkapnya...

STATUS ANAK ZINA

Ada sebuah kasus yang menimpa salah seorang teman, yaitu istrinya melakukan perzinaan dengan seorang laki-laki.
Ketika dia hamil dan melahirkan seorang anak, perempuan tersebut minta cerai, karena ingin menikah dengan pacar
gelapnya yang telah berzina dengannya. Dia mengatakan bahwa anaknya yang baru saja lahir adalah anak hasil
perzinaan dengan pacarnya, maka anak tersebut harus ia bawa. Bagaimana sebenarnya status anak tersebut ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dijelaskan di sini bahwa perempuan yang melakukan perbuatan zina dan
hamil dibagi menjadi dua :
Pertama : Dia berstatus sebagai istri dari seorang suami yang sah, sebagaimana yang terjadi pada kasus di atas. Jika
perempuan tersebut hamil dan melahirkan, maka status anaknya diikutkan kepada suaminya yang sah, dan bukan
kepada laki-laki yang berzina dengannya, walaupun anak tersebut wajahnya mirip dengan laki-laki yang berzina. Kenapa
? karena air mani orang yang berzina tersebut tidak dihargai dalam Islam, sehingga tidak diakui nasabnya.
Selain itu, Islam ingin menutupi aib orang muslim jika hal itu memungkinkan, dan sekaligus ingin menghargai anak
manusia yang lahir, karena pada hakekatnya bayi dari hasil perzinaan tersebut adalah makhluk yang tidak bersalah,
yang bersalah adalah orang yang berzina. Nah, untuk menutupi hal itu, maka bayi tersebut diikutkan kepada pasangan
suami istri yang telah terikat dalam perkawinan yang sah. Dalilnya adalah hadist yang menyebutkan kisah anak yang
lahir dari budak perempuan milik Zam’;ah bin Aswad yang ternyata pernah melakukan hubungan badan dengan
Utbah bin Abi Waqash. Utbah mewasiatkan kepada saudaranya Sa’;ad bin Abi Waqash untuk mengambil anak
tersebut, karena anak tersebut sebenarnya adalah anaknya. Tetapi Abdun bin Zam’;ah merasa anak tersebut
adalah saudaranya. Terjadilah pertengkaran antara Sa’;ad bin Abi Waqash ( saudaranya ‘Utbah ) dengan
Abdun bin Zam’;ah. Berkata Sa’;ad : ‘ Saudaraku bilang bahwa anak dari budak milik Zam’;ah
ini adalah anaknya. Berkata ‘Abdun : ‘ Dia adalah saudaraku, karena dia adalah anak bapakku karena
lahir di atas kasur bapakku. Maka nabi Muhammad saw bersabda kepada ‘Abdun : ‘ Itu adalah saudaramu
wahai Abdun, karena anak yang lahir tersebut dinisbatkan kepada laki-laki yang mempunyai istri dari ikatan perkawinan
yang sah, sedang yang berzina tidak mendapatkan apa-apa, wahai Saudah ( binti Zam’;ah ), kamu harus berhijab
ketika bertemu dengannya nanti.( karena wajah anak tersebut mirip dengan Utbah ) ‘ ( HR Bukhari 2533 )
Kedua : Perempuan yang berzina tadi belum mempunyai suami dan belum berada dalam ikatan perkawinan yang sah.
Hal ini biasanya terjadi di kalangan para mahasiswa-mahasiswiI dan para pelajar putra – putri yang hidup di
daerah perkotaan. Bagaimana status anak yang dikandungnya ? Apakah boleh diakui sebagai anak keduanya setelah
mereka berdua menikah atau anak tersebut tidak boleh dinisbatkan kepada laki- laki yang menghamili ibunya ?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :
Pendapat Pertama mengatakan bahwa status anak tersebut tetap sebagai anak zina tidak boleh dinisbatkan sama sekali
kepada laki-laki yang menghamili ibunya, antara keduanya tidak boleh saling mewarisi, dan jika anak yang lahir tadi
perempuan, maka laki-laki tersebut tidak boleh menjadi wali nikahnya. Tetapi anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya
yang melahirkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dalilnya adalah hadist Zam’;ah di atas bahwa : ‘
anak itu dinisbatkan kepada suami yang mempunyai istri dari ikatan perkawinan yang sah, sedang yang berzina tidak
mendapatkan apa-apa. ‘
Oleh karenanya, jika laki-laki yang berzina dengan ibunya tadi ingin agar anak hasil perzinaan tersebut diselamatkan
dan tidak terlantar begitu saja, maka dibolehkan baginya untuk merawat anak tersebut sebagaimana dia merawat
anaknya sendiri. Hanyasaja ketika pembagian warisan, anak tersebut tidak berhak mendapatkan warisan. Tetapi, jika
laki-laki tersebut ingin menghibahkan atau mewasiatkan sebagian hartanya kepada anak tersebut sebelum dia
meninggal dunia, maka hal tersebut dibolehkan.
Pendapat Kedua mengatakan bahwa anak tersebut boleh dinisbatkan kepada laki-laki yang menghamili ibunya. Ini
adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Taimiyah ( Ibnu Taimiyah, Majmu’; Al Fatawa : 32/ 112, 113, 139 ).
Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Ishaq bin Rahawih, Sulaiman bin Yasar, Ibnu Sirrin, Hasan Bashri, Ibrahim an-
Nakh’;I dan lain-lainnya.( Al Baji, Al Muntaqa : 6/ 11 , Ibnu Qudamah, Al Mughni : 6/ 266 )
Mereka beralasan bahwa hadist Zam’;ah di atas hanya berlaku bagi perempuan yang mempunyai suami dari
ikatan perkawinan yang sah, sehingga perempuan tersebut disebut firasy ( tempat tidur ) bagi suaminya. Tetapi lain
halnya, jika perempuan tadi tidak mempunyai suami dari ikatan perkawinan yang sah, maka dia tidak disebut firasy.
Dengan demikian hadist di atas tidak berlaku pada perempuan semacam ini.

Selain itu, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa tujuan dinisbatkan anak zina tadi kepada suami yang sah,
adalah untuk menutupi aib dan mengangkat derajat anak yang mungkin dilahirkan dari hasil perzinaan tersebut. Nah,
ternyata perempuan tersebut pada waktu dia berzina tidak mempunyai suami yang sah, sehingga anak hasil perzinaan
tersebut mau dinisbatkan kepada siapa ? kalau kepada ibunya tentunya nasib anak itu akan menggantung di masa
mendatang karena tidak mempunyai bapak, dan orang lainpun lambat laun akan mengetahui bahwa anak tersebut
adalah anak zina, dengan demikian aib tersebut akan terbongkar dan mencorengnya serta mencoreng ibu yang
melahirkannya, padahal barangkali ibu tersebut sudah bertaubat dengan sungguh-sungguh. Jika dikemudian hari
ternyata laki-laki dan perempuan yang berzina tersebut telah bertaubat dan menikah, maka pernikahan mereka berdua
adalah sah menurut madzhab Hanafi dan Syafi’;I, sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya. Kemudian
timbul pertanyaan, apakah salahnya anak tersebut dinisbatkan kepada laki-laki yang sekarang sudah menjadi suami
ibunya, sedangkan tidak ada satupun dari pihak lain yang mengklaim bahwa anak tersebut adalah anaknya.
Pendapat ini dikuatkan dengan Atsar Umar bin Khattab, bahwa beliau menisbatkan anak-anak yang dilahirkan pada
waktu jahiliyah kepada siapa yang mengakuinya ketika mereka sudah masuk Islam ( Atsar Riwayat Imam Malik di dalam
al- Muwatho’;, no : 1426, Baihaqi, no :21799, Berkata Syekh Al Bani di dalam Irwa’; Ghalil : 6/ 25 : orangorang
yang meriwayatkan atsar ini bisa dipercaya, karena telah mereka telah meriwatkan hadist-hadist di dalam shahih
Bukhari dan Muslim, hanya saja sanadnya terputus, karena Sulaiman bin Yasar tidak bertemu dengan Umar, akan tetapi
tersambung dari jalan lain )
Kesimpulan dari pembahasan di atas, bahwa anak yang lahir dari perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan yang masih berada dalam ikatan perkawinan resmi, maka statusnya dinisbatkan kepada suami yang sah dari
perempuan yang berzina tersebut. Sedang jika perempuan yang berzina tersebut tidak sedang dalam ikatan perkawinan
sah dengan seorang laki-laki, maka status anak dari hasil perzinaan tersebut masih diperselisihkan para ulama :
mayoritas ulama mengatakan bahwa anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya, sedang sebagian ulama yang lain
mengatakan bahwa anak tersebut boleh dinisbatkan kepada lelaki yang berzina dengan ibu yang melahirkannya.
Wallahu A’;lam

[+/-] Selengkapnya...

ADAB-ADAB MUADZIN

Apa saja etika atau adab-adab yang harus diperhatikan bagi seorang muadzin ?
Jawaban :
Seorang muadzin dianjurkan untuk memperhatikan etika atau adab-adab di bawah ini :
1. Dianjurkan sebelum mengumandangkan adzan ia berwudhu ( bersuci ) lebih dahulu.
2. Dianjurkan untuk mengumandangkan adzan dengan pelan-pelan dan jelas.
3. Dianjurkan untuk mengumandangkan adzan dari tempat yang tinggi jika tidak ada alat pengeras suara. Ini
dimaksudkan agar suara adzan menyebar lebih luas. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Bilal, yaitu
mengumandangkan adzan dari atas rumah seorang wanita dari Bani Najjar, yang rumahnya kebetulan paling tinggi di
sekitar masjid. ( Hadist Hasan Riwayat Abu Daud )
4. Meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya. Sebagaimana di dalam hadist Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya ia berkata :
"Aku pernah melihat Bilal mengumandangkan adzan, dan aku mencermati (gerakan) mulutnya kesini dan kesini.
Sementara kedua jarinya berada dikedua telinganya. (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah )
5. Hendaknya muadzin mempunyai suara yang baik dan lantang. Sebagaimana di dalam hadist Abdullah bin Zaid
radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rosulullah sholahu ‘alaihi wa as- salam bersabda :
Bangkitlah bersama Bilal lalu sampai kepadanya apa yang engkau lihat, kemudian hendaklah dia
mengumandangkannya, karena suaranya (Bilal) itu lebih lantang darimu."(HR.Abu Dawud dan Ibnu Majah)

[+/-] Selengkapnya...

EUTANASIA

Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu euthanatos, yaitu "eu" yang berarti baik, dan “thanatos”

yang berarti kematian. Dengan demikian “ Eutanasia “ dapat diartikan sebagai tindakan memudahkan

kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan

penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Eutanasia ini di dalam bahasa Arab disebut : “ qatlrahmah “yang berarti pembunuhan demi kasih sayang.

Hippokrates adalah orang pertama kali yang menggunakan istilah "eutanasia" ini. Tepatnya pada "sumpah Hippokrates"

yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan

obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".

Ditinjau dari sudut maknanya maka Eutanasia ini dapat digolongkan menjadi tiga yaitu eutanasia agresif .aktif ( al-fa'al),

eutanasia pasif.negatif ( al-munfa'il ) , dan eutanasia non agresif.

Pertama : Eutanasia agresif .aktif ( al-fa'al ) yaitu suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau ahli

medis lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien dengan memberikan obat-obatan yang mematikan,

atau memberikan obatan –obatan secara overdosis, atau dengan menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke

dalam tubuh pasien. Eutanasia dalam bentuk ini dibagi menjadi dua :

1. Tanpa persetujuan pasien dan bertentangan dengan kemauan pasien untuk hidup, maka jelas hukumnya haram, dan

tindakan para ahli medis untuk mempercepat kematian pasien ini sangat bertentangan dengan firman Allah swt :

“ Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan)

yang benar . “ ( Qs Al Israa: 33 )

Dari ayat di atas, kita mengetahui bahwa nyawa manusia adalah suci dan tidak boleh dilenyapkan kecuali dengan alasan

yang dibenarkan oleh Islam, seperti hukuman rajam bagi muhsan (sudah menikah ) yang berzina, orang yang murtad

dan dalam hukum qishas. Sedangkan membunuh pasien karena kasih sayang tidak termasuk dalam katagori tersebut,

maka termasuk sesuatu perbuatan yang haram. Selain itu, bahwa perbuatan menghidupkan dan mematikan adalah hak

Allah swt, sebagaimana dalam firman-Nya :

“ Allah menghidupkan dan mematikan. dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan. “ ( Qs Ali Imran : 156 )

2. Dengan persetujuan pasien, atau bahkan atas permintaannya sendiri atau sering disebut dengan Eutanasia Sukarela

atau bunuh diri dengan bantuan, yaitu dimana seorang pasien yang sakit keras dan tidak kuat menahan sakitnya

meminta pada dokter yang merawatnya untuk segera mengakhiri hidupnya . Perbuatan semacam ini jelas haram, karena

bertentangan dengan firman Allah swt :

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,

kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh

dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” ( Qs An Nisa’ : 29 )

Kedua : Eutanasia pasif.negatif ( al-munfa'il ) yaitu tidak dipergunakan alat-alat medis sebagai penunjang kesembuhan

atau tidak dilakukannya langkah-langkah aktif secara medis yang mungkin dapat memperpanjang hidup pasien. Maka

hal ini harus dilihat dulu :

1. Jika sikap ini diambil oleh dokter atau ahli medis setelah dilakukan berbagai pengobatan terhadap pasien tersebut,

ternyata tidak ada perkembangan yang berarti dan tidak banyak memberikan harapan kesembuhan kepada si sakit -

tentunya menurut ilmu kedokteran - , maka tidak dilakukannya langkah-langkah selanjutnya, dan diserahkan urusannya

kepada Allah swt, maka hal itu dibolehkan. Ada beberapa alasan untuk membenarkan tindakan seperti ini :

Pertama : dokter sudah berusaha mengobati pasien tersebut menurut kemampuannya, dan Allah tidak membebani

seseorang kecuali menurut kadar kemampuannya,

Kedua : tidak ada niat untuk membunuh pasien tersebut, tetapi yang ada hanya menyerahkan urusan pasien tersebut

kepada Allah swt.

Bahkan menghentikan alat bantu hidup bagi pasien yang dihukumi telah “ mati “ karena jaringan otak atau

syarafnya telah rusak, dan tidak mungkin dipulihkan lagi, serta dia tidak merasakan kehidupan lagi, menurut sebagian

ulama, perbuatan ini dibolehkan, karena pada hakekatnya dia sudah mati dan tidak hidup.

2. Jika sikap itu diambil oleh dokter atau ahli medis dengan sengaja agar pasien tersebut meninggal dunia, karena

pertimbangan-pertimbangan tertentu, padahal mereka bisa menolongnya, maka tindakan ini tidak dibolehkan dan bisa

dikatagorikan membunuh walau tidak secara langsung.

Ketiga : Eutanasia non agresif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima

perawatan medis. Permasalahan ini harus dilihat dulu :

1. Jika ia menolak perawatan medis karena putus asa dan tidak kuat menahan derita, serta ingin cepat mati, maka

hukumnya haram, karena bisa dikatagorikan bunuh diri.

2. Sebaliknya jika ia menolak perawatan, karena bertawakal kepada Allah swt saja dan menyakini bahwa kesembuhan

ada di tangan Allah swt semata, dan dokter hanyalah sarana yang mungkin berhasil dan mungkin tidak, serta tidak ada

niat sama sekali di dalam dirinya untuk bunuh diri, maka perbuatan semacam ini dibolehkan dalam Islam. Disamping itu,

perlu disampaikan di sini bahwa hukum berobat dari penyakit sendiri masih diperselisihkan para ulama. Sebagian

mereka mengatakan hukumnya mubah, sebagian yang lain mengatakan mustahab dan sebagian kecil mengatakan

wajib.


Wallahu A’lam.


[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 02 Juni 2010

PANAS LATEN/LATEN HEAT


[+/-] Selengkapnya...

PANAS SENSIBLE




[+/-] Selengkapnya...

EFEK PANAS DALAM PROSES

[+/-] Selengkapnya...

ALIRAN GAS DAN STEAM




[+/-] Selengkapnya...

PIPING PRESSURE DROP







[+/-] Selengkapnya...